Translate

Sunday, June 19, 2011

KEWARISAN DALAM BW (burgerlijk wetboek)


BAB I
PENDAHULUAN
Hukum merupakan kumpulan dari aturan-aturan yang dibuat untuk mengatur tinkah laku dan tindak tanduk manusia selaku subjek hukum dalam kehidupan barmasyarakat, berbangsa dan bernegara, dan dengan adanya hukum diharapkan dapat memberikan dan menciptakan tujuannya yang terlebih dahulu ada sebelum dibuatnya. Dan hukum ternyata tidak hanya mengatur tindakan manusia dalam kehidupan saja, manusia selaku subjek hukum ternyata juga masiah diataur oleh hukum pada waktu meninggalnya dan pada hal ini hukum dikhususkan kepada barang (harta) yang telah ditinggalkannya atau pemusakaan barang si amyit kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya yang dinamakn Hukum Waris. Mengenai hukum waris yang ada dalam kehidupan kia, kita sering mendengar adanya Hukum Waris yang menggunakan aturan-aturan yang terdapat pada suatu suku-suku yang berbeda (Hukum Waris Adat) dan juga Hukum Waris yang mengguakan aturan agama islam (Hukum Waris Islam) dan pada kesempatan kali ini mekalah ini akan memberikan sedikit penjelasan tentang Hukum Waris menurut Kitab Undang-undang negara kita sendiri yang juga harus kita katahui dan kita fahami keberadaannya, dan berikut ulasannya.

BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pengertian waris
Pada dasarnya, kata waris berasal dari bahasa arab dari kata waritsa-yaritsu-irtsan yang dan makna menurt bahsa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lainberarti, namun pada Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Dan sedangkan makna waris menurut istilah yang dikenal ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
sedangkan dalam pengertian adat hukum waris meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil yang manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses peralihannya.( Soerojo Wignyodpoero, 1985 : 161) dan begitu juga dalam Kitab Undang-undang hukum perdata ( BW ) memberikan batasan tentang pengertian & defenisi hukum waris sebagai suatu pedoman, adapun pengertian tersebut, adalah seperti terurai dibawah ini. Menurut Pasal 830 BW : “ Pewarisan hanya berlangsung karena kematian “.

  1. Pandangan KUHP (burgerlijk wetboek)
Di dalam Buku II KUHP juga disebutkan dalam pasal 830 seprti yang sudah disampaikan diatas bahwa “perwarisan hanya berlangsung karena adanya kematian”1, dan itu nampaknya suadah jelas karena itu merupakan syarat utama dari suatu pewarisan itu. Dengan adanya kematian baru dapat terjadinya perpindahan harta seorang yang telah meninggal kepada para keluarganya (ahli waris).
  1. Pemberlakuan Hukum Waris
Dan sekarang yang menjadi pertanyaan, Hukum Waris BW ini berlaku untuk siapa saja?, karena penduduk indonesia tidaklah hanya terdiri dari satu golongan warga negara.
Dan berikut tiga golongan warga negar indonesia :
  1. Warga indonesia asli (bumi putra)
  2. Warga indonesia Timur Asing yang terdiri atas:
  • ketururnan Tiongkok
  • keturunan bukan Tiongkok ; Arab, India dll
  1. Warga indonesia keturunan Eropa
Sebelumnya harus kita ketahui bahwa:
  1. Penduduk Bumuputra telahir dari adat indonesia yang sesuai dari sukunya, dan bagi yang beragama islam menggunakan hukum islam.
  2. Bagi golongan timur asing:
  • Keturunan tiongkok stb. 1917 – 129 berlaku hukum waris BW (buku II titel 12 sampai dengan 18, pasal 830 sampai dengan 1130)
  • Timur asing lainnya (arab, india, dll) berlaku hukum waris adat mereka masing-masing yang tumbuh dan berkembang dinidonesia , kecuali untuk wasiat umum berdasar Stb. 1924 – 556 tunduk pada BW.
  1. Dan bagi golongan Eropa tunduk pada hukum waris BW.
Dan jawabanya bahwa sudah ada pasal tidak tertulis dari hukum antar golongan yang tetap yaitu bahwa hukum waris yang berlaku pada pokoknya dikuasai hukum berlaku bagi golongan pewaris.2
  1. Ahli Waris
Dalam hukum waris lainpun dikenal yang namanya ahli waris yang merupakan orang-orang yang berhak mendapat harta yang di tinggalkan oleh orang yang meninggal, dan keberadaan ahli waris pun juga menjadi unsur suatu hukum waris setelah adanya yang meninggal. Pasal 832 BW mengatakan : “ Menurut Undang-undang yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah baik syah maupun luar kawin & si suami atau isteri yang hidup terlama, semua menurut peraturan tertera dibawah ini, dalam hal bilamana baik keluarga sedarah maupun yang hidup terlama diantara suami isteri tidak ada, maka segala harta peninggal si yang meninggal menjadi milik negara yang mana wajib melunasi segala utangnya , sekedar harga harta peninggalan mencukupi untuk itu. Dan pada pasal 874 yang mengatakan bahwa menjadi ahli waris dapat juga menlalui wasiat, dan pasal 836 BW yang penggunaannya diharuskan melihat pada pasal 2 BW yang mengatakan “anak didalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya dan mati sewaktu melahirkannya, dianggap ia tidak penah ada”.
Dan berikut beberapa golongan yang merupakan ahli waris :
  1. golongan I
Dalam golongan ini, suami atau istri dan atau anak keturunan pewaris yang berhak menerima warisan.
  • Ayah
  • Ibu
  • Pewaris
  • Saudara
  1. golongan II
Golongan ini adalah mereka yang mendapatkan warisan bila pewaris belum mempunyai suami atau istri, dan anak. Dengan demikian yang berhak adalah kedua orangtua, saudara, dan atau keturunan saudara pewaris.
  1. golongan III
    • kakek
    • nenek
    • kakek
    • nenek
Dalam golongan ini pewaris tidak mempunyai saudara kandung sehingga yang mendapatkan waris adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ibu maupun ayah.
  1. golongan IV
Pada golongan ini yang berhak menerima warisan adalah keluarga sedarah dalam garis atas yang masih hidup.
Meskipun seseorang sebenarnya berhak mendapatkan warisan baik secara absentantio atau testamentair tetapi di dalam KUH Perdata telah ditentukan beberapa hal yang menyebabkan seorang ahli waris dianggap tidak patut menerima warisan seperti yang di sebutkan dalam pasal 838 BW.
Kategori pertama adalah orang yang dengan putusan hakim telah telah dinyatakan bersalah dan dihukum karena membunuh atau telah mencoba membunuh pewaris. Kedua adalah orang yang menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat wasiat atau dengan memakai kekerasan telah menghalang-halangi pewaris untuk membuat surat wasiat menurut kehendaknya sendiri. Ketiga adalah orang yang karena putusan hakim telah terbukti memfitnah orang yang meninggal dunia dan berbuat kejahatan sehingga diancam dengan hukuman lima tahun atau lebih. Dan keempat, orang yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat dari pewaris.
Dengan dianggap tidak patut oleh Undang-Undang bila warisan sudah diterimanya maka ahli waris terkait wajib mengembalikan seluruh hasil dan pendapatan yang telah dinikmatinya sejak ia menerima warisan.
  1. Harta Warisan
Berkenaan dengan hal apa yang di wariskan disebutkan pada pasal 528 mengenai hak-hak kebendaan yang menyebutkan bahwa “atas suatu kebendaan berkuasa, baik hak milik, baik waris, baik hak pakai hasil, baik hak pengabdian tanah , baik hak hipotik atauhak gadai”. Jadi dapat simpulkan dari kata hak waris yang ada dalam pasal tersebut bahwa suatu barang peninggalan seorang yang meninggal dianggap sebagai suatu hak kebendaan. Dalam ketentuan BW para ahli waris tidak hanya mendapatkan harta dari si pewaris namun juga mendapatkan hak-hak atau tagihan atau tanggungan yang sama dengan yang meninggal seperti dikatakan secara tegas disebutkan dalam pasal 833 ayat (1) BW yaitu “sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik segala barang, segala hak, dan segala piutang dari yang meninggal”3. peralihan hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia kepada ahli warisnya disebut “saisine” adapun yang dimaksud dengan seisine adalah “ ahli waris memperoleh segala hak dan kewajuban dari yang meninggal dunia tanpa memerlukan suatu tindakan tertentu, demikian pula bila ahli waris tersebut belum mengetahui tentang adanya warisan itu”.
Sistem waris BW tidak mengenal istilah “harta asal maupun harta gono-gini” atau harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan, sebab harta warisan dalam BW dari siapa pun juga, merupakan “kesatuan” yang secara bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih dari tangan peninggal warisan/pewaris ke keuarganya (ahli warisnya). Artinya, dalam BW tidak dikenal perbedaan pengaturan atas dasar macam atau asal barang-barang yang ditinggalkan pewaris. Seperti yang ditegaskan dalam pasal 849 BW yaitu “Undang-undang tidak memandang akan sifat atau asal dari pada barang-barang dalam suatu peninggalan untuk mengatur pewarisan terhadapnya”. Sistem hukum waris BW mengenal sebaliknya dari sistem hukum waris adat yang membedakan “macam” dan “asal” barang yang ditinggalkan pewaris.
Akan tetapi ada beberapa pengecualian, dimana hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan ada juga yang tidak dapat beralih kepada ahli waris, antara lain:
  1. Hak memungut hasil (vruchtgebruik);
  2. Perjanjian perburuhan, dengan pekerjaan yang harus dilakukan bersifat pribadi;
  3. Perjanjian perkongsian dagang, baik yang berbentuk maatschap menurut BW maupun firma menurut WvK, sebab perkongsian ini berakhir dengan meninggalnya salah seorang anggota/persero.
Pengecualian lain terdapat pula, yaitu ada beberapa hak yang walaupun hak itu terletak dalam lapangan hukum keluarga, akan tetapi dapat diwariskan kepada ahli waris pemilik hak tersebut, yaitu:
    1. Hak seorang ayah untuk menyangkal sahnya seorang anak;
    2. Hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai anak yang sah dari bapak atau ibunya.
  1. Wasiat
Dan yang satu ini adalah jalan lain dimana seseorang dapat menjadi ahli waris yang tidak mempunyai hubungan darah seprti pada pasal diatas yaiti pasal 874 yang mengatakan bahwa ahli waris dapat juga menlalui wasiat. Dan pengertian wasiat atau testament itu sendiri merupakan suatu pesan atau permintaan seorang yang akan meninggal yang biasanya berupa tulisan yang diketahui pejabat resmi kemudian dibentuk suatu akta dan ditujukan kepada para ahli waris atau keluarga. Testament disini merupakan suatu pernyataan sepihak dan dapat ditarik kembali, seperti dijelaskan pada pasal 875 BW yang mengatakan bahwa “adapun yang dinamakan surat wasiat atau trestamen ialah suatu akta yang memuat pernyataan seorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah dia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut kembali lagi”.
Juga terdapat pasal lain mengenai sayrat-syarat testament yaitu pasal 895 yang berbunyi “pembuatan testament harus mempunyai akal budinya, dalam artian bahwa tidak boleh membuat testament orang-orang yang sakit ingatan”. Dan pasal 897 yang mengatakan bahwa “para belum dewasa yang belum mencapai umur genap delapan belas tahun, tidak boleh membuat surat wasiat4.
Dan terdapat beberapa hal yang dapat menjadikan testament itu sebagian tidak ditulis atau tidak diterima, seperti pada pasal 888 “dalam segal surat wasiat, tiap-tiap syarat yang tidak dapat dimengerti, atau tidak mungkin dilaksanakan atau yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik, harus dianggap sebagai tak tertulis5.
Begitu juga terdapat pada pasal 890 “penyebutan akan suatu alas sebab yang palsu, harus sebagai tak tertulis kecuali kiranya surat wasiat memperlihatkan, bahwa si pewaris tidak akan mengambil ketetapannya, jika kepalsuan alas sebab tadi dulu telah diketahuinya”.
Dan pada pasal 893 “segala surat wasiat yang dibuat sebagai akibat paksa, tipu atau muslihat, adalah batal”.6 Dan ada suatu larangan dalam pemmembuatan wasiat dengan suatu ketentuan yang dapat mengurangi legitieme portie ( suatu bagian tertentu bagian tertentu dari harta peninggalan warisan).
Dan dilihat dari isinya, wasiat dibedakan menjadi berikut7:
  • Wasiat yang berisi “erftelling” , dimana pewasiat mewasiatkan untuk memberikan sebagian atau semua harta ababila dia meninggal seperti dalam pasal 954 BW.
  • Wasiat yang berisi hibah atau legat, seperti dalam pasal 957 BW.
Sedangkan menurut bentuknya, wasiat terbagi menjadi8:
  • Wasiat olografis (wasiat yang ditulis sendiri), 932 BW
  • Openbaar testament (wasiat umum), 943 BW
  • Wasiat tertutup atau wasiat rahasia , 931, 940 dan 941 BW.
Dan dalam perwasiatan sangat dibutuhkan saksi, dan saksi haruslah memenuhi beberapa persayarat seperti berusia 21 tahun atau sudah menikah, berwarga indonesia dan mengerti bahasa dalam testatement, dan ada bebrapa orang yang tidak dapat menjadi saksi, yaitu9:
  • Semua ahli waris dan legataris
  • Semua keluarga sedarah dan keluarga berdasarkan perkawinan sampai derajat ke 6
  • Anak-anak atau cucu-cucu dari keluarga tersebut
  • Pembantu-pembantu notaris pada wktu membuat tetament
  1. Pembagian Harta Waris
Suatu keluarga bisa menjadi tidak harmonis lagi apabila pembagian waris dianggap tidak adil atau berat sebelah,oleh kerena itu dibutuhkanya penghitungan-penghitungan yang baik sebingga sesuatu yang tidak diinginkan itu tidak terjadi. Di dalam KUHP juga terdapat bagian-bagian harta warisan yang diterima ahli waris dari golongan-golongan diatas, dan berikut bagian-bagian harta waris kepada para ahli waris tersebut:
  1. Golongan I : Yang mendapatkan warisan adalah istri/suami dan anaknya. Masing-masing mendapat ¼ bagian.
  2. Golongan II : Yang mendapat warisan adalah ayah, ibu, dan kedua saudara kandung pewaris. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Pada prinsipnya bagian orangtua tidak boleh kurang dari ¼ bagian.
  3. Golongan III : Yang mendapat warisan adalah kakek atau nenek baik dari ayah dan ibu. Pembagiannya dipecah menjadi ½ bagian untuk garis ayah dan ½ bagian untuk garis ibu. Dan pada golongan ini bisa terjadi apabila si pewaris tidak mempunyai tidak mempunyai saudara kandung.
  4. Golongan IV : golongan ahli waris sedarah keatas. Mereka mendapat ½ bagian. Sedangkan ahli waris dalam garis yang lain dan derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapatkan ½ bagian sisanya.
Dan perlu diketahui sebelum dilakukannya proses pembagian suatu harta waris (warisan), para ahli waris harus bertanggungjawab atas hutang-hutang yang dimiliki pewaris pada waktu masih hidupnya atau dapat di katakan harta waris baru bisa dibagi setelah dipotong dengan biaya pemakaman dan hutang-hutang pewaris.

BAB III
PENUTUP
Hukum terlahir untuk menjadikan kebahagiaan dan ketertiban dalam kehidupan, dan negara indonesia adalah negara hukum yang menggunakan hukum sebagai jalan menuju keadilan dan selalu mengtas namakan Hukum dalam segala hal, seperti pada hal waris ini KUHP mengatur segala hal yang mengenai perpindahan harta manuasia selaku sebagai Subjek Hukum yang bertujuan menghindari suatu ketidak adilan di dalamnya.

Daftar Pustaka

Amir Muhammad, Hukum Waris Menurut Buku II KUHP, (Yogyakarta, Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, 1991)
Prodjodikoro R. Wirjono, Hukum Warisan di Indonesia, (penersitan sumur bandung, 1980)
Subekti R. dkk, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP), (Jakarta, PT Pradnya Paramita, 2008)
Utantoro Agus, Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetboek,( Surabaya, Usaha Nasional, 1988)
http://groups.yahoo.com/group/Notaris_Indonesia/message/5460,


1 Prof. R. Subekti,S.H.,KUHP.hlm:221

2 Agus Utantoro, Hukum Waris Menurut BW, hlm.13-14

3 Prof. R. Subekti,S.H.,KUHP.hlm:222

4 Ibid.hlm:235

5


6 Ibid.hlm:234

7 H. Muhammad Amir, S.H., Hukum Waris Menurut Buku II KUHP. hlm 17

8 Ibid.hlm 18

9 Ibid.hlm 21

No comments:

Post a Comment