Translate

Wednesday, June 15, 2011

Monarki dalam Demokrasi

 Baru-baru ini dibeberapa Media televisi "meributkan" statmen bapak presiden kita, Susilo Bambang Yudhoyono mengenai adanya sebuah Monarki didalam Demokrasi Negara Republik Indonesia. Monarki kesultanan Yogyakarta dalam negara Demokrasi Indonesia adalah sebuah keistimewaan mengingat Sultan HB IX dalam surat telegramnya kepada Soekarno ketika mendengar berita mengenai kemerdekaan Indonesia, mendukung sepenuhnya atas lahirnya Negara Republik Indonesia. Surat Telegram ini merupakan sebuah tanda dari penyatuan dua Negara yaitu Negara Kasultanan Yogyakarta dengan Negara Republik Indonesia. Sebuah langkah yang Heroik mengingat betapa besar dukungan Sultan Hamengku Buwono IX terhadap Negara Republik Indonesia. Sri Sultan kemudian mengeluarkan sebuah Amanat pada tanggal 5 september 1945 yaitu pernyataan resminya mengenai meleburnya Kasultanan Yogyakarta dalam Kesatuan Negara Republik Indonesia.

 Secara historis predikat istimewa merupakan warisan jauh sebelum kemerdekaan RI itu sendiri. Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman merupakan cikal bakal DIY sekarang ini dulunya dikenal sebagai negara vasal dalam pemerintahan yang dimulai oleh VOC (Vereenidge Oostindische Compagnie), Hindia Belanda, hingga Pendudukan Jepang. Pada masa Belanda daerah Kasultanan Yogyakarta dijuluki Zelfbestuurende Landshappen dan oleh pendudukan disebut kooti (tanya nenek ato simbah kita pasti ngerti). Dari sinilah telah muncul wacana mengenai keistimewaan Yogyakarta yang kita ketahui saat ini telah ada jauh sebelum kemerdekaan Indonesia itu sendiri. Kemudian Bapak proklamasi Indonesia, Soekarno memberikian sebuah perlindungan hukum dalam rapat BPUPKI dan PPKI kepada kasultanan Yogyakarta sebagai sebuah daerah (dalam negara indonesia), bukan lagi Negara yang memiliki kedaulatannya sendiri.

 Menanggapi Opini yang beredar saat ini, mengenai "penyamarataan" status daerah yang artinya menghapuskan status keistimewaan Yogyakarta dalam Negara Demokrasi Indonesia tentunya membutuhkan pertimbangan yang matang. Keistimewaan yang dapat kita lihat hari ini dari Yogyakarta adalah Dual-birokrasi atau pemerintahan ganda dari sosok sultan sebagai Raja bagi rakyat Yogyakarta dengan Gubernur sebagai Kepala Daerah Yogyakarta. Oleh karena itu Yogyakarta adalah satu-satunya daerah yang tidak mengadakan pemilihan Gubernur. Rakyat memilih Sultan sebagai sosok pengayom rakyat secara spirituil dan juga rakyat (secara luas) memilih Sultan sebagai sosok pemimpin Daerah. Apabila dilihat dari kacamata demokrasi yang dicanangkan Nagara Indonesia tentunya ini sama sekali jau dari cita-cita Demokrasi. Namun rakyat Yogyakarta secara historis, sosial,culture, spirituil, maupun rasa nyaman dapat ditempuh dengan tetap Sultan sebagai Gubernur sekaligus Raja untuk rakyat. Sebuah fenomena yang tidak dapat kita jumpai didaerah manapun.
 Disaat daerah lain yang kini gemar "memamerkan Kekuatannya sendiri" (Timor-Timur, GAM, RMS), Yogyakarta justru menundukkan Kepala dan mengakui Kedaulatan NKRI dengan penuh penghayatan. Sungguh sebuah penghargaan besar yang patut saya berikan kepada Sri Sultan Hamengku Bowono IX yang dengan pemikiran modernnya untuk melebur Kekuasaanya dan tunduk kepada Presiden Republik Indonesia. Oleh karena itu apabila Daerah Istimewa Yogyakarta akan dihapus dan disetarakan dalam demokrasi (pemilihan gubernur.red) maka hendaknya perlu kajian yang lebih dalam. Bila dilihat dari segi sosial maka saya rasa hanya akan menimbulkan kekisruhan dalam diri rakyat Yogyakarta.

No comments:

Post a Comment